Laman

Selasa, 23 Februari 2016

Tanpa Keluarga, Obat Terasa Tak Berguna


Tahun 2012 silam, saat masih berstatus sebagai mahasiswa di salah satu Univeristas kebanggaan Ureung Aceh, IAIN Ar-Raniry (sekarang UIN Ar-Raniry) saya punya kenangan tersendiri bersama orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Sebagai mahasiswa Bimbingan dan Konseling Islam (BKI) Fakultas Dakwah, kami mahasiswa tingkat akhir diwajibkan mengambil mata kuliah praktikum konseling, sebagai bentuk nyata aplikasi keilmuan konseling dan penyehatan mental di ranah sosial.

Penyambutan Mahasiswa Praktek Oleh Pihak RSJ Aceh

Pihak jurusan menjalin kerjasama yang baik dengan berbagai pihak yang mampu menampung aplikasi keilmuan konseling dan penyehatan mental. Salah satunya adalah kerja sama dengan pihak Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Aceh. Rumah Sakit Jiwa ini merupakan satu-satunya Rumah Sakit Jiwa di Propinsi Aceh. Telah menampung kurang lebih 700 pasien. Saat itu, praktek mahasiswa dilakukan di bagian Rehabilitasi; tempat dimana sejumlah pasien telah mampu berkomunikasi dengan baik, emosi stabil dan dinyatakan hampir sembuh. (Untuk menjaga kehormatan, mahasiswa tidak diperbolehkan mengekspos biodata maupun foto para pasien. Tapi disini saya ingin berbagi cerita “sebulan bersama ODGJ”. Melihatnya dari perspektif berbeda dan (mungkin) bisa menjadi suatu pembelajaran.


Awalnya, timbul ketakutan dan rasa khawatir berada disana. Terbayang: “mereka pasti agresif, mereka pasti “ngeri”, mereka pasti inilah itulah bla bla bla bla dan lain sebagainya (pikiran kebanyakan orang awan). Nyatanya, mereka itu manis, terkadang lucu (bikin kita ketawa-ketawa sendiri) dan juga bersih. Seiring berjalannya waktu, rasa nyaman itu muncul dan rasa empati itu hadir. Rasa ingin mengenggam tangan mereka untuk kembali menjalani hidup sebagaimana mestinya.

Real pict, No Hoax ^^

Pernah ketika mengunjungi  beberapa pasien. “Kak sini bentar, aku tuh juara Indonesian Idol loh. Dengerin aku nyanyi ya!”. Daannn.... suaranya itu asli beneran bagus, meski lirik yang dinyanyikan tak sesuai. Ada juga yang obsesi jadi BCL (Bunga Citra Lestari). Ada juga yang suka ceramah. Waahh..pokoknya beragam deh. Walau mereka sibuk dengan dunianya sendiri, tapi kadang itu yang bikin mereka lucu dan terlihat manis.

Pernah juga didekati oleh pasien dan dengan polosnya bilang: Bi peng syibee? (minta duit dong seribu?). Awalnya kaget. Setelah diberitahu staf kalo itu pasien dengan katagori telah sembuh. Akhir saya terbiasa. Mereka dibiarkan bersosialisasi dengan pengunjung di sekitar rumah saki, sebagai latihan penyesuaian diri untuk kembali ke kampung halaman. Sebagian orang akan menghindar karena ketakutan, ada juga yang memberikan uang. Sebenarnya mereka juga senang jika diberikan sesuatu selain uang; apakah itu makanan sehat atau permen. Karena uang yang diberikan tak jarang mereka gunakan untuk beli rokok.

Ada sebagian dari mereka yang dinyatakan sembuh, namun saat dikembalikan kepada keluarga. Ada yang menerima dengan baik, ada juga yang masih menganggapnya “orang gila” bahkan tak sedikit pula pihak keluarga yang tak diketahui keberadaannya. Menjadi polemik tersendiri bagi mereka yang sebenarnya sudah boleh “keluar”, tapi lingkungan sosial belum siap menerima.

Seorang pasien, (sebut saja namanya Akbar). Akbar telah dinyatakan sembuh; mampu berkomunikasi dengan baik, emosi stabil, mengurus diri dengan baik dan punya harapan untuk menjalani kehidupan bersama keluarga. Ia juga memperlihatkan rasa empati terhadap sesama pasien; membantu mereka mengikuti kegiatan dan mengajari teman-temannya kala sebagian dari mereka tak mengerti. Sebelum dipulangkan, Akbar malah meminta izin sama kami dan minta didoakan. Kami merasa takjub. Semoga ia mampu memasuki kehidupan baru. Menjadi manusia baru dengan sejuta harapan, semangat dan optimis.

Namun, apa yang terjadi seminggu setelahnya? Akbar dikembalikan ke RSJ dalam keadaan sangat berbeda. Emosinya tidak stabil, kadang berteriak, memaki dan bahkan menyakiti diri sendiri. Akhirnya perawatan intensif pun harus dijalaninya.

Apa yang membuat Akbar “kambuh” kembali? Apa kita harus menyalahkan Akbar dengan kondisinya? Padahal, Ia sudah berusaha berjuang untuk sembuh. Berusaha menekan keagresifan. Berusaha menghilangkan waham-wahan negatif. Tapi, seketika pandangan “orang gila” yang dilekatkan padanya menghancurkan pertahanan yang coba dibangun bertahun-tahun ini. Masyarakat kita yang kurang paham atau pertahanan diri (self mecanism) Akbar yang kurang kokoh?. Saya tak ingin menjudge. Tapi yang pasti Akbar dan teman-teman (yang senasib) butuh dukungan orang terdekat dan dukungan sosial. Ia harus dibantu untuk bisa menyesuaikan diri dengan baik. Tangannya harus diraih agar kembali menjadi sosok yang manis, membanggakan dan penuh cinta.

Tak hanya Akbar, masih banyak teman senasib yang merasakan hal yang sama. Bella misalnya (nama samaran). Ia meminta kami untuk menghubungi keluarganya. Ia rindu. Ingin bertemu anak-anaknya yang masih kecil. Dari sesi konseling yang dijalani. Dengan linangan air mata Ia butuh orang-orang yang menginginkannya kembali. Tapi sejak dibawa ke “tempat ini”. Tak sekalipun ia dibesuk.

Mereka yang di rumah sakit jiwa adalah mereka yang harus diobati, bukan mereka yang “dibuang” atau disembunyikan dari dunia. Sebagian dari mereka memiliki kemungkinan untuk sembuh. Tak hanya obat, mereka juga butuh perhatian dan dukungan keluarga. Perhatian keluarga sangat membantu penyembuhan pasien disamping upaya medis. Tanpa itu, obat yang mereka minum dan perawatan tempo hari terasa tak berguna.

Keluarga menjadi tumpuan rasa dan harapan. Kemanapun pergi rumah adalah tempat kembali. Tapi, apa jadinya ketika keluarga tak sehangat dulu? Rumah tak senyaman dalam bayangan. Saya rasa, tak hanya mereka (ODGJ), bahkan orang normal saja bisa sedih dan terpuruk jika dipandang sebelah mata. Kenyataannya sering kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Masih ada aja pandangan atau tatapan sinis terhadap mereka yang baru sembuh. Menganggap mereka bahaya. Merasa mereka “aneh” dan berbeda. Jangan-jangan anggapan buruk dan tatapan sinis kita yang membuat mereka menjadi “gila”. Nauzubillahi min zalik

Sudah seharusnya lingkungan sosial menghilangkan “cap negatif” itu. Penerimaan sosial yang baik, akan memudahkan mereka menyesuaikan diri kembali. Hidup dengan semestinya dan bersosial dengan baik. Tak sepatutnya menjudge atau mencibir mereka yang sakit dan bahkan mengolok-olok keluarganya. Mereka sudah sangat berat menghadapi cobaan hidup, jangan pula ditambahi dengan omongan dan ejekan dari sekitar. Sekiranya tak bisa membantu, jangan tambah beban mereka dengan lisan dan sikap kita.

Semoga, masyarakat kita semakin cerdas dan bijak dalam tutur dan sikap. Terkhusus dalam menghadapi ODGJ. Karena pada hakikatnya, mereka punya hak yang sama. Mereka berhak sembuh. Berhak bahagia. Oleh karenanya, mereka membutuhkan uluran tangan kita. Butuh orang yang tidak meninggalkannya dalam “cobaan” ini. Butuh mereka yang berkata: “Ayo sini...kamu pasti bisa. Mari sama-sama melewati hari”. Karena mereka tak hanya butuh obat, tapi butuh tangan yang bisa membawanya kembali sehat. Wallahu a’lam

Wassalam
Roel Alghazel


"Tulisan Ini diikutkan dalam Giveaway Aku dan Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yang diselenggarakan oleh Liza Fathia dan Si Tunis












3 komentar:

Jual Airsoft Gun Murah mengatakan...

Memang benar, orang dengan gangguan kejiwaan seharusnya harus lebih dekat dengan keluarganya

Nurul Hikmah Alghazel mengatakan...

Iya...Tak hanya obat mereka juga butuh kasih sayang. Terima kasih sudah berkunjung

Nurul Hikmah Alghazel mengatakan...

Iya...Tak hanya obat mereka juga butuh kasih sayang. Terima kasih sudah berkunjung