Laman

Selasa, 23 Februari 2016

Tanpa Keluarga, Obat Terasa Tak Berguna


Tahun 2012 silam, saat masih berstatus sebagai mahasiswa di salah satu Univeristas kebanggaan Ureung Aceh, IAIN Ar-Raniry (sekarang UIN Ar-Raniry) saya punya kenangan tersendiri bersama orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Sebagai mahasiswa Bimbingan dan Konseling Islam (BKI) Fakultas Dakwah, kami mahasiswa tingkat akhir diwajibkan mengambil mata kuliah praktikum konseling, sebagai bentuk nyata aplikasi keilmuan konseling dan penyehatan mental di ranah sosial.

Penyambutan Mahasiswa Praktek Oleh Pihak RSJ Aceh

Pihak jurusan menjalin kerjasama yang baik dengan berbagai pihak yang mampu menampung aplikasi keilmuan konseling dan penyehatan mental. Salah satunya adalah kerja sama dengan pihak Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Aceh. Rumah Sakit Jiwa ini merupakan satu-satunya Rumah Sakit Jiwa di Propinsi Aceh. Telah menampung kurang lebih 700 pasien. Saat itu, praktek mahasiswa dilakukan di bagian Rehabilitasi; tempat dimana sejumlah pasien telah mampu berkomunikasi dengan baik, emosi stabil dan dinyatakan hampir sembuh. (Untuk menjaga kehormatan, mahasiswa tidak diperbolehkan mengekspos biodata maupun foto para pasien. Tapi disini saya ingin berbagi cerita “sebulan bersama ODGJ”. Melihatnya dari perspektif berbeda dan (mungkin) bisa menjadi suatu pembelajaran.

Rabu, 17 Februari 2016

Matahari Senja


Matahari, bagiku matahari itu hebat dan perkasa. Punya cahaya sendiri dan berani. Memberikan kehidupan bagi semesta. Bersinar sesuai titah Tuhan. Keberadaanmu hidup bagi orang lain. Kadang kau bersinar terang, kadang kala juga meredup. Kau lelah??? Ku rasa tidak. Kau hanya menyeimbangi peran dalam semesta. Tau kapan harus bersinar terang dan tau kapan harus meredup.


Ditunggu sepanjang hari sesuai kebermanfaatanmu. Dan yang paling berkesan, saat senja kau bersama langit menjelma menjadi mega kemerah-merahan. Dimana semua orang tidak menggurutu, tapi menikmati keindahanmu. Meski telah senja, keindahanmu mempertemukan satu dengan yang lain, mengakrabkan hubungan dan menumbuhkan cinta.

Pesona Magetan: Dari Mantenan Hingga Nasi Pecel Jawa Timur


November 2015 lalu, aku diajak menghadiri pernikahan saudara di Jawa Timur, tepatnya di Desa Mrahu, Kabupaten Magetan. Aku excited banget dong, selain karena bisa melintasi hampir seluruh pulau Jawa, sekalian bisa melihat langsung budaya dan adat istiadat Wong Jowo.
Dengan segala persiapan, kita menuju Magetan via darat alias nyetir dari Bandung-Magetan. Jaraknya mungkin 540 km, kira-kira 15-17 jam waktu perjalanan. Melewati beberapa kabupaten dan provinsi. Mulai dari Garut-Tasikmalaya-Ciamis-Banjar-Cilacap-Tegal-Purwokerto-Semarang-Yogyakarta-Solo-Ngawi-Magetan (begitu lah kira-kita, karena perjalanannya malam jadi ga keliatan dan ga bisa sepenuhnya melihat keindahan daerah masing-masing).

Pelan tapi pasti mobil kita melewati jalan yang dikelilingi pohon jati, persawahan dan perkebunan. Magetan termasuk wilayah yang subur dalam sektor pertanian. Kita nyampe Magetan itu sekitar pukul 05.00 WIB dan itu suasananya udah terang banget alias matahari udah terbit (jam 05.00 WIB di Magetan, mungkin kayak jam 06.30 di Aceh). Walau masih pagi tapi udaranya udah panas banget. FYI, Katanya ada gunung berapi yang masih aktif di daerah Magetan dan Ngawi, jadi ga salah kalau jam 06.00 kita udah ngipas2 dan nyari kipas angin...(asli bro panas banget)

Selasa, 16 Februari 2016

Garut Aku Jatuh Cinta (Lagi)


Ini, kedua kalinya aku berkunjung ke Garut. Setelah semester lalu mengikuti OCT(Baca disini --->>> (Garut Part 1) Garut part 2), kali ini aku sengaja kembali (tsaahhh...bahasanya) untuk menghadiri pernikahan salah satu teman yang paling gokil, paling nekat, paling cerewet, kadang jadi umi, kadang jadi anak kecil, ga bisa diem, ga bisa diatur, sariweuh riweuh lah. Eh tau-taunya dia duluan yang nikah. Ya begitulah jodoh ya, tak tau kapan datang dan tak tau siapa duluan. Tapi yang perlu digarisbawahi adalah menikah itu bukan soalan siapa cepat (kan ini bukan lomba lari..hehehehe), tapi soalan mendapatkan orang yang tepat pada saat yang tepat pula.....eaaaaa

Oke kembali ke topik...
Kali ini, ada beberapa hal yang bikin jatuh cinta (lagi) sama Garut. Kalau pertama kali ke Garut lebih mengenal pendidikannya, kali ini lebih mengenal budaya, tempat wisata dan pastinya bahasa Sunda. Selama di Garut, ga tau kenapa pengen aja ngomong bahasa Sunda. Dan hasilnya.... Abdi salaku urang Aceh, atos lancar nyarios bahasa Sunda. Huahahahaha (ketawa Bangga..) --->>> ngan saukur sakitu..hihi