Laman

Senin, 10 Februari 2014

GA KEREN, KALAU BELUM MASUK PESANTREN



 "Tulisan ini saya ikutsertakan dalam lomba "Menulis Santri" tingkat Nasional yang diadakan oleh salah satu Majalah Islami ternama di Indonesia. Ini Tulisan pertama yang saya kirim ke redaksi dan Alhamdulillah Juara Favorit."



Tahun 2002 adalah tahun aku menamatkan sekolah dasar (SD) dan memilih melanjutkan studi ke sebuah pondok pesantren ternama di kota kelahiranku. Pesantren Ulumuddin namanya, sebuah pesantren terpadu yang terletak di sudut Kota, tepatnya di perbukitan Uteunkot Cunda Kota Lhokseumawe, Provinsi Aceh. Pesantren ini sudah berdiri sejak tahun 1990 dan telah berhasil mencetak lulusan yang sebagian besar tersebar melanjutkan studi di nusantara dan Jazirah Arab, seperti Mesir, Mekkah, Madinah, dan Syiria. Pesantren yang mengadopsi gaya Pesantren Gontor ini juga memadukan antara pembelajaran sekolah dan kitab kuning serta menerapkan bahasa arab dan bahasa inggris sebagai bahasa harian. Untuk masuk ke pesantren favorit ini tidaklah mudah kawan, selain sebagai pesantren favorit se-antero aceh utara dan Lhokseumawe yang banyak diincar oleh siswa berprestasi, ujian masuknya juga menguji kemampuan berbahasa arab dan bahasa inggris. Sungguh ujian yang sangat sulit mengingat waktu itu bahasa arab belum menjadi pelajaran pokok di SD.

“Mak, adek masuk ke pesantren ya?” pintaku pada Mak saat itu. Aku memanggil ibuku dengan sebutan Mak. “Ga boleh, adek kan baru tamat SD. Masih umur 12 tahun, masih kecil untuk usia merantau,  Mak ga kasih” Mak langsung menolak permintaanku. Memang yang Mak takutkan bukan hanya usiaku yang masih muda, tapi karena fisikku yang kerap sekali sakit, bisa dibilang aku adalah anak berpenyakitan dan tidak bisa jauh dari obat.
Namun, keinginanku masuk pesantren sudah bulat. Malah aku bersikeras kepada orang tua tidak akan melanjutkan sekolah jika tidak di pesantren. Aku terus berusaha sekuat tenaga menyakinkan ayah. Dan alhasil, ayah mengalah dan memberi kesempatan bagiku untuk mencobanya. Ayah juga menyakinkan Mak untuk membiarkan putri keduanya melanjutkan studi sesuai dengan kemauannya.
Setelah mendapatkan restu, akupun mempersiapkan diri mengikuti ujian tulisan dan lisan. Masih segar diingatanku, pertanyaan-pertanyaan saat wawancara, “Kenapa masuk pesantren? Di Pesantren makan ikan asin, sayur rebus dan tempe. Apa kamu sanggup?”tanya penguji mengetesku. “Sanggup!” jawabku tegas tanpa ragu.
“Di pesantren ga enak, banyak aturan dan keras, kalau melanggar harus keliling lapangan, sanggup?” tanya beliau lagi tak mau kalah. “Insyaallah sanggup!” jawabku tetap dengan rasa percaya diri. Ku lihat ustazah yang mengujiku tersenyum melihat gayaku yang kepedean. Ustazah Us namanya, beliau tanya lagi “Trus disini jauh dari orang tua, ga boleh pulang selain pada waktu liburan dan semua harus diurus sendiri? Makan harus antri, mandi, dan ke toilet juga harus antri...kadang ga mandi kalau ga ada air. Gimana masih sanggup ga?” haaahhh tidak ada air??? Gumamku dalam hati. Tapi dengan segenap keyakinan ku menjawab “Insyaallah saya sanggup”. Wawancara berakhir.
Seminggu berlalu, aku tak sabar menunggu hingga siang sampai ayah pulang kerja dan membawakan koran. Dengan seksama aku melihat nomor ujian, dan hasilnya aku lulus!!! Aku melompat kegirangan dan kulihat senyum bahagia dari ayah, kecuali dari Mak yang merasa sedih karena akan berjauhan denganku. Hari itu, tanggal 22 Juli 2002 awal mula aku menginjakkan kaki di pesantren dan menjadi seorang santri.
###
Santri baru, ga boleh nangis!
Berada disana merupakan kebahagiaan tersediri bagiku, memiliki banyak teman dan suasana baru. Suasana serba baru jelas terlihat di rayon santri kelas 1. Kasur, seprei, lemari, semuanya baru. Ada satu hal lagi yang unik disana. Kalau sudah tiba waktu senja hingga malam, akan terdengar  suara tangisan di setiap kamar. Suara itu bagaikan koor kelompok paduan suara yang saling bersahutan. Kalau istilah senior, saatnya santri baru nangis jamaah...hehehe dan itu selalu  terdengar selama seminggu setiap penerimaan santri baru setiap tahunnya..(ada-ada saja...hehe)
Berbeda denganku, sedikitpun aku tak menagis. Malah aku menengur Mak yang memelukku erat sembari menangis kala hendak pulang. “Mak, jangan nagis, malu di lihat sama orang”. Tak lupa Mak mengingatkan untuk menjaga kesehatan dan jangan lupa minum obat. Pernah suatu ketika, senior menghampiriku yang sedang bersantai di halaman. Pesantren ku terletak di perbukitan penuh dengan pepohonan dan suasana yang asri. Sungguh suasana yang enak untuk sejenak bersantai dan memanjakan diri dengan pemandangan alam serta ditemani angin sepoi-sepoi. “Kenapa ukhti? Kangen rumah ya?” sembari menghampiriku. “Oh ga ukhti, ana lagi santai aja. Ana heran sama kawan ana, mereka asik nagis aja teringat kerumah” ledekku menyepelekan. “Emang anti ga nangis? Ga teringat sama mamak?” tanyanya lagi. “Teringat sih, tapi ga sampe nangis juga. Kita disini kan bukan di buang tapi mau belajar” jawabku sok dewasa. “Oh...bagus bagus kalau gitu, udah jadi santri ga boleh nangis lagi, harus giat belajar dan bergaul biar ga teringat kerumah, nanti betah sendiri kok, Disini enak loh banyak teman” katanya lembut.
Seminggu pertama, Mak dan Ayah selalu menyempatkan diri setiap hari menjengukku. Padahal jarak rumahku dengan pesantren lumayan jauh, tapi orang tuaku begitu khawatir. “Mak jangan datang tiap hari ya! Adek malu sama teman-teman” sambil mengantarkannya ke pintu gerbang pesantren. “Santri lain semua minta dijenguk, adek kok ga mau??? Mak kan cuma mau lihat keadaan Adek disini” Sahut Mak pelan. “Adek di sini baik-baik aja, banyak kawan dan ga kurang 1 apa pun. Kalau Mak dan Ayah atang selalu, kapan adek mandiri???datangnya sebulan sekali aja ya” tak mau lagi mendengar penjelesan Mak Namun, tetap saja orang tuaku menyempatkan diri datang seminggu sekali.
Tetapi...apa yang terjadi setelah 7 hari???
Tepat seminggu aku menjadi santri, baru aku merasakan kerinduan yang paling dalam. Aku kangen Mak, kangen Ayah, kagen rumah dan pengen pulang. Dan sore itu akupun menangis tersedu-sedu di sudut musala. Terbersit dalam hati “ begini ya kalau lagi kangen orang tua?” hiks (Apa juga sok kuat kemaren...cemen juga rupanya..hehe)
###
Hari-hari di Pesantren.
Hari-hari kami lewati bersama. Bahagia, lucu, penuh canda tawa, kekonyolan, dan air mata. Aku mudah beradaptasi dan bergaul, karena itu seminggu disana aku sudah punya banyak teman dan mulai dekat dengan kakak kelas. Banyak keuntungan dekat dengan senior, aku diajarkan bahasa asing, di tuntun mengikuti peraturan yang ada dan mudah di kenal. Teman sekamar ku pernah bilang, “Anti enak ya dekat dengan kakak kelas, semua kenal sama anti”. Aku hanya membalasnya dengan senyuman. “Ntar dech ana kenalin dengan Ukhti yang kelas Aliyah ya!” 
Ada kisah lucu ketika kami masih kelas 1. Enam bulan pertama, santri kelas 1 tidak diwajibkan berbahasa arab tetapi cukup berbahasa Indonesia. Namun, masih ada santri yang sering kali keceplos ngomong bahasa daerah. Termasuk juga aku...maklum wong ndeso. “Jangan ambil silop[1] ana” pernah teman ku berteriak di depan kamar. Kontan semua orang melihatnya, karena ketahuan berbahasa daerah. Langsung saja dia kabur dan kami pun semua tertawa, karena kami tau dia tidak sengaja keceplos. Atau pernah seorang teman sekamar mengigau tengah malam sambil beratraksi “ coblos moncong putih!” sambil mengepalkan tangannya keatas layaknya caleg lagi kampanye. Spontan kami yang masih terjaga tertawa cekikikan sampai guling2 karena tidak boleh bersuara di tengah malam. Ntah kenapa dia bisa mengigau partai politik itu, mungkin karna masa itu lagi masa pemilu. Pernah juga suatu malam, teman sekamar ku sakit parah dan harus ditemani oleh (sebut saja namanya Ani). Setelah pulang mengaji, kami pun kembali ke kamar dan mendapati pintu terkunci. Kami mengedor pintu dengan sekuat tenaga, juga tidak ada sahutan sama sekali. Kami mulai khawatir, setelah 15 menit berlalu dan hendak melapor ke ustazah. Pintu terbuka perlahan, ternyata yang membuka adalah teman yang sedang sakit dan kami langsung masuk dan mendapati si Ani tidur terlelap. Tak sedikit dia terjaga. Ckckckck ani...ani...!
Kalau sedang mati lampu, adalah waktu yang pas untuk balas dendam dengan para senior yang jahil. Suatu malam temanku pernah mencubit keras salah satu kakak kelas karena pernah dijahili. Dalam gelap ia menyelinap dan mencubitnya dengan keras “adoowww...who pinch me[2]???” teriaknya kesakitan. Langsung saja dia kabur jauh, aku yakin sampai saat ini senior itu tidak tau yang mencubitnya malam na’as itu. Kami hanya tertawa kala mendengarkan ceritanya.
Pernah juga kami di kejar dan sembunyi di kolong tempat tidur saat jam pelajaran berlangsung sedangkan kami pulang ke asrama untuk tidur, tapi ketahuan juga akhirnya. Setelah kejadian itu, ga pernah-pernah lagi keluar kelas saat jam pelajaran. Ada juga kejadian, aku sedang menuruni anak tangga dan mendengar suara azan, langsung saja terbersit dalam hati “suara siapa itu, jelek sekali!” tepat setelah aku menguman dalam hati aku langsung tersungkur jatuh dari tangga. Itu yang ku dapatkan setelah menjelekkan orang, ga lagi-lagi dech. Ya Allah ampuni dosa hamba. (jangan meniru kejadian diatas... ntar kualat).
Kejadian paling menyedihkan adalah ketika tragedi Tsunami. Banyak santri yang kehilangan orang tua, sanak sodara dan harta benda. Ada 1 orang teman seangkatan kami, yang sudah seminggu tidak ada kamar dari ibundanya. Rupanya sore itu dia mendapatkan kabar bahwa ibunda ditemukan 4 KM dari rumahnya dalam keadaan tidak bernyawa.Spontan dia pingsan dan kami semua ikut berduka. Kisah suka dan duka itu membuat kami sebagai santri menjadi sosok yang tegar, sabar, mandiri dan saling berbagi.
Tak lengkap rasanya, jika tak menorehkan kisah mistis di pesantren. Semua orang tau di pesantren adalah tempatnya penampakan hantu atau pocong cs. Pernah suatu waktu, ketika aku dan beberapa teman melakukan shalat tahajud di musala. Awalnya biasa saja, namun ketika kami sedang khusyuk shalat lampu mushala tiba-tiba mati, namun itu tidak menggangu kekhusyukan kami. Setelah shalat maka kami hanyut dalam doa, ketika itu tadah tanganku serasa berat berapa ton. Semakin aku berdoa semakin berat beban itu. Rupanya teman ku juga merasakan hal yang sama, namun tak disampaikannya begitu juga aku. Setelah semuanya selesai, kami berlagak santai keluar dari mushala seperti tak terjadi apa namun saling menoleh. Setelah meraba-raba sandal dan dengan tanpa aba-aba kami serentak lari terbirit-birit ke kamar. Masih dengan nafas tersenggal2, kami saling bercerita. Rupanya kami memang sedang di ganggu dan setelah itu lampu pun hidup kembali. Ku rasa makhluk halus itu tertawa terbahak-bahak melihat kami berlari terbirit-birit. Memang setan kurang kerjaan..dasar setan!!! (ya emang setan J). Pernah juga teman sekamarku melihat penampakan di depan kelas dan asrama. Seperti pocong atau kuntilanak, katanya ia melihat makluk berbaju putih dan rambut panjang...hihi ngeri!
###
Persahabatan.
Sepotong episode mengenai sahabat juga tak pernah terlupakan. Betapa tidak, bersama merekalah aku melewati warna warni kehidupan di pesantren selama 6 tahun lamanya. Sahabat yang ada dalam suka dan duka. Ketika sakit, sahabatlah yang mengurusi dan ketika bahagia dan sedih dengan sahabatlah kita berbagi. Bagiku sahabat adalah bagian dari jiwa ini. Friendship is one soul in two body.
Aku memiliki banyak teman, tetapi aku juga memiliki sahabat karib. Kami sering menghabiskan waktu bersama, belajar, bercanda, bermain dan saling berbagi. Pun orang tua kami sudah dekat satu sama lain, layaknya saudara. Kami berjumlah 5 orang dan pun sepakat memberi nama Tu_kok, bukan nama geng tapi hanya nama untuk seru-seruan, ga punya arti khusus tapi karena lucu dan unik saja..hehe
 ketawa bersama
Suka duka kami selalu bersama. Ketika sakit teman sekamar lah yang menjaga menghibur dan mengusursi semuanya. Biasa aku yang sering sakit, merekalah yang selalu mengingatkan ku minum obat dan mengurusiku ketika sakit. Pernah aku sakit parah hampir 3 hari tidak bisa bergerak tanpa daya, dan dipapah dari lantai 3 kekamar mandi yang terletak di belakang asrama. Kala itu malam gelap dan mati lampu, dalam gelap mereka menggendongku turun dari lantai 3, tak pernah ku lupakan kejadian itu.
Saling memberikan kejutan saat ulang tahun, dan menyemangati ketika masalah melanda.
###
Ujian terberat...
2008, aku sudah sampai di tingkat akhir. Bulan April tepatnya kami akan mengikuti ujian nasional (UN). Bagi kami UN begitu mengerikan. Selain persiapan UN, kami juga mempersiapkan diri mengikuti ujian akhir ma’had, secara lisan dan tulisan. Inilah ujian yang menentukan kami layak mendapatkan ijazah ma’had atau tidak. Sebenarnya lebih mengerikan ujian ma’had, karena jika kami gagal, maka sia-sia saja belajar 6 tahun disana namun tak mampu lulus dengan baik dan gagal mendapatkan ijazah. Semacam ada rasa malu tersendiri.
Saya beserta teman lainnya begitu serius mempersiapkan diri, mengikuti les, belajar bersama dan mencoba menjawab soal-soal yang sudah ada. Kalian bisa membayangkan betapa padatnya kegiatan kami 6 bulan terakhir. Kami belajar siang malam, kemana saja membawa buku dan kitab dan hanya memiliki waktu istirahat sekitar 3 jam. Kala malam tiba, sebagian memilih belajar di Mushalla, sebagian lagi memilih tempat yang sunyi dan mengandalkan lampu-lampu kelas yang masih menyala, dan kebanyakan memilih belajar di kamar karena ketika sudah lelah bisa langsung tidur. Biasanya tipe yang terakhir ini punya waktu belajar lebih singkat karena keburu tertidur ketika melihat kasur...hehe
Begitu setiap hari yang kami lakukan, selain belajar keras doa juga menjadi senjata andalan bagi santri. Aku selalu berdoa “Ya Rabb, berikan yang terbaik bagi hamba. Jika lulus yang terbaik, maka luluskan. Namun jika tidak maka kuatkan hati ini dan jangan sampai hamba menangis. Berikan yg terbaik ya Rabb. Amin”, itu adalah sepenggal doa yang selalu aku ucapkan. Sebagai senior kami di doakan khusus oleh junior dan dukungan yang diberikan begitu besar. Sehingga kelelahan yang kami hadapi tidak terlalu terasa karena disetiap tempat kami selalu disemangati “Ukhti, ma’annajah!!!Ad’u ilaiki ukhti”[3]  atau “ Good Luck my sister for examination[4] atau yang paling lucu “Good Luck sister yes (semoga sukses kak ya) hehehe.
Hari yang dinanti pun tiba, hari pengumuman UN tanggal 14 Juni 2008. Hari itu kami semua sungguh dilanda ke khawatiran yang sangat amat dalam. Sebelum pengumuman di umumkan, tersiar kabar bahwa tahun ini santri tidak lulus 100%, ada 7 orang yang gagal. Sungguh membuat kami semua tegang. Tiba saatnya kepala sekolah membawa hasil pengumuman dengan memanggil yang lulus satu persatu ke depan. Satu, dua sampai ke nomor kesekian, namanya juga tak ada, itu artinya aku TIDAK LULUS. Seakan ada yang menonjok hati ini, tapi aku merasa Allah mengabulkan doaku, sedikitpun aku tidak menangis dan aku menerima dengan ikhlas. Dari kami berlima anak-anak Tu_kok, cuma aku yang gagal. Spontan mereka memelukku sembari menangis. Sekali lagi, Allah mengabulkan doaku sedikitpun aku tidak menangis.

 wisuda santri 2008

Pada saat bersamaan aku melihat wajah ayah dan Ummi yang selama ini terlihat lembut dan menyenangkan dengan wajah yang senantiasa menjanjikan semangat dan perasaan damai. Sore itu tidak bisa disembunyikan gurat harapan yang hilang. Mengalah pada takdir bahwa putrinya telah gagal. Pemandangan itu yang merobek-robek pertahananku. Oh Tuhan, jangan biarkan air mata ini mengalir, jangan!!! Aku merasa langitku saat itu merubah menjadi kelam dan gelap tanpa cahaya.
Setelah magrib baru aku menangis sejadi-jadinya dan 4 hari mengurung diri di kamar. Sebenarnya orang tua ku selalu menyemangati dan ini bukanlah akhir dari segalanya. Tapi, perasaan ini semakin sesak, apalagi mengingat bahwa semua orang tidak percaya bahwa aku gagal. Selama 6 tahun di pesantren, aku termasuk santri berprestasi. Semua jajaran pesantren seakan tidak percaya kenapa aku gagal dalam UN. Tapi sudah begitu kejadiannya. Kemudian, aku tersadar bahwa aku telah menzdalimi diri sendiri dan orang2 yang menyayangiku, terutama Ummi dan Ayah. Aku hanya gagal di UN, namun lulus di ujian akhir ma’had dan mendapatkan ijazah. Ini bukan the end of my live, i must be survive, kalau menyerah maka habislah sudah. Maka, aku memutuskan untuk bangkit dan sebulan kemudian memutuskan Ikut ujian paket C dan mendaftar di perguruan tinggi Islam kebanggaan Rakyat Aceh, IAIN Ar-Raniry Banda Aceh. Lulus di Bimbingan Konseling Islam, Fakultas Dakwah. Mulai saat itu aku berjanji untuk menjadi yang terbaik dan membanggakan orang tua dan menghancurkan keputusasaan itu berkeping-keping tak bersisa.

Sekarang...                                                                 
Teringat 5 tahun yang lalu saat rasa putus asa yang mengungkung siang malam akibatnya membuat aku malu dengan diri sendiri dan nikmat yang telah Allah berikan. Aku sangat percaya bahwa Allah tidak akan menguji hambaNya di luar batas kesanggupannya. Harapan itu akan selalu ada dan aku harus bangkit untuk diriku dan orang yang mencintaiku dengan sepenuh hati.
Akhirnya, usahaku belajar keras selama 4 tahun di perguruan tinggi tidak sia-sia, aku berhasil lulus dengan predikat Cumlaude dan mendapat penghargaan dari Rektor. Ceritanya bisa baca.disini Aku juga pernah menjadi asisten dosen dan mengajar privat bahasa Arab, itu karena aku pernah mengeyam pendidikan di pondok pesantren dan jasa pasa Ustad dan Ustazah. Sehingga ilmu dasar yang ku dapati disana bisa membawaku menjadi pribadi yang anggun dan kompetitif. Saat ini, aku sudah menjadi staff di Dinas Sosial Provinsi Aceh dan menangani masalah sosial dan anak jalanan. Masih jelas terekam dalam memeri pesan pertama dari ustazah kala pertama kali belajar mahfudhat:  Man Jadda Wa Jada (Barang siapa yang bersungguh-sungguh, maka akan mendapat)”. Hal ini yang selama ini aku jadikan prinsip untuk terus berkarya untuk keluarga, agama dan bangsa.
Dulu, aku hanya tau alasan utama memilih masuk pesantren karna ingin sekali menginjakkan kaki di Mesir, hanya itu. Namun lambat laun setelah menimba banyak ilmu disana,aku mendapatkan apa sebenarnya yang aku cari. Di sini aku belajar ilmu pengetahuan, agama dan kematangan spiritual, bukan hanya ingin ke Mesir tapi juga kemadirian, kesetiakawanan dan pengabdian untuk agama. Di pesantren lah tempat aku mengenal perjuangan hidup, persahabatan dan  Tuhan.
bersama kedua orang tua dan adinda di depan Pesantren

Jadi, jangan pernah menyerah dan berputus asa. Karena sebenarnya itu masalah waktu, Tuhan tau Tapi Tuhan Menunggu. Nah, sekarang kemana pun alu pergi, tetap aku terapkan disiplin pesantren dan menyarankan generasi di bawahku untuk melanjutkan sekolah di pesantren. Maka, selalu aku katakan kepada mereka “Ga keren, kalau belum masuk pesantren
Hari ini, aku serasa langitku kembali cerah dan Allah telah menghadiahkanku pelangi yang indah. (Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?(QS. Ar-Rahman: 21).


 Terimakasih Ya Allah ^__^


Banda Aceh, 10.15 WIB
Salam Santri!!!


Catatan Kaki:

[1] Sandal.
[2] Siapa yang nyubit aku?
[3] Sukses kak, Doaku bersamamu.
[4] Sukses untuk ujiannya!

Tidak ada komentar: