Laman

Sabtu, 12 November 2016

Sabtu (Tak) Bersama Bapak.


Rabu, 05 Oktober 2016.
Hari itu, adik saya yang paling bungsu wisuda. Hanya Mak dan abang yang menghadiri wisudanya. Sebab kondisi ayahanda kami lagi kurang sehat. Sudah seminggu ayah demam, tak nafsu makan dan tampak lemas. Meski ayah memaksa ingin ikut, tapi kondisi tak memungkinkan untuk memboyongnya ke Banda Aceh (butuh 6 jam perjalanan dari rumah). Lebih baik dirumah agar sakitnya tidak bertambah parah, begitu pikir Mak. Kala itu, Mak ada pada kondisi sangat dilematis. Tetap dirumah menemani ayah atau menghadiri wisuda sang buah hati. Meski waktu itu hati Mak condong untuk tidak berangkat. Namun, ayah mengatakan “pergi saja! Kasian dek Raudhah wisuda tanpa orang tua”. Ayah di rumah ditemani kakak dan adik-adiknya. Jadi saat itu dirumah itu lagi rame. Makanya Mak memutuskan berangkat meski hatinya ga karuan.

Meski hari bahagia, Mak hanya menangis sepanjang hari. Mengingat diantara kami bertiga, ini wisuda paling menyedihkan, tanpa kehadiran ayah tanpa makan-makan, tanpa keluarga besar. Saya sendiri sedang di Bandung bergelut dengan tugas akhir. Usai ceremony Mak langsung bergegas pulang. Karena hatinya ingat Ayah. Si bungsu rencana akan pulang esok hari setelah menyelesaikan sidik jari dan pengambilan ijazah. Agar bisa konsen merawat ayah dirumah, begitu rencananya.


Kamis, 06 Oktober 2016
Seperti biasa Mak mengantarkan ayah cuci darah ke rumah sakit. Lengkap dengan segala perlengkapan agar ayah di opname saja usai HD. Karena kondisi beliau masihh lemas. Tapi ayah menolak keras. Beliau ingin pulang saja. Tak ada masalah pada proses HD nya. Semua berjalan lancar seperti biasa. Hari itu ayah ingin makan, padahal sudah seminggu mencium bau nasi saja beliau langsung muntah. Takut ayah kembali muntah, akhirnya Mak berikan bubur ayam. Hampir setengah porsi ayah habiskan dengan lahap. Pun begitu juga dengan teh hangat.

Siang, sekitar jam 12.00 WIB saya menelpon. Menanyakan kondisi ayah. Mak bilang ayah sudah mau makan, tapi menolak untuk di opname. Jadi mungkin ada dibawa pulang saja. “Ayah sanggup bicara Mak?”.ayah lagi tidur, nanti aja ya ngobrolnya kalau sudah di rumah. Nanti Mak telepon lagi kalau sudah dirumah”. “Ya sudah kalau begitu” telepon berakhir.

Pukul 13.20 WIB
Kala itu, Saya sedang ditelepon seorang teman yang menanyakan tentang studi magister. Tiba-tiba sms dari abang masuk “Dek angkat telepon abang sekarang!” saya kaget, ga biasanya abang sms begini. Saya akhiri telepon dari teman. Langsung masuk telepon dari Mak. “Dek, ayah hana le. Ayah ka meninggai (Dek, ayah sudah ga ada, ayah sudah meninggal)” ucapannya terbata-bata sambil terisak dalam.

Degg...Bagai terhujam pedang di ulu hati. Airmata langsung mengalir deras. Saya tak bisa berucap sama sekali. Di seberang telepon, mak juga menangis tersedu-sedu. Telepon diambil alih oleh tante “Dek, tenang ya. Tenang. Berdoa ya untuk ayah! Adek bisa pulang?” “Pulang, adek pulang sekarang” ucapan saya terbata-bata. Abang langsung mengurus tiket kepulangan dari Bandung. Alhamdulillah masih dapat tiket meski jam 17.30 WIB dari Bandung.

Alam seakan ikut bersedih,setelah telepon berakhir. Hujan turun dengan derasnya. Dengan tas seadanya saya menerobos hujan untuk sampai di bandara. Siang itu, tak ada satupun taksi yang ada ditempat biasa. Memesan taksipun tak serta merta ada, sebab lagi hujan. Pasti banyak yang pake taksi. Hampir se jam nungguin taksi yang tak kunjung datang. Basah kuyup. Wajah redup. Hati kalut. Tuhan, kenapa dramatis sekali? Saya hanya ingin pulang, segera.

Ucapan bela sungkawa pun datang begitu banyak. Saya memutuskan untuk “switch off” hp karena tak sanggup membacanya. Sepanjang perjalanan air mata ini tak berhenti keluar. Sampai-sampai membasahi kerudung dan syal. Terbayang wajah ayah. Senyumnya, perhatiannya, kasih sayangnya. Semuanya menari-nari dalam pikiran. Pun merasa menyesal tak berada disampingnya di detik-detik terakhir. Diantara kami bertiga, saya lah yang paling dekat dengan ayah. Dominan mewarisi sifatnya dan punya selera yang sama. Melanjutkan studi magister juga bagian dari mewujudkan impian ayah; agar diantara anaknya ada yang berprofesi akademisi seperti dirinya. Saat kecil ayah selalu ada untuk saya. Saat dewasa, terlalu sedikit waktu yang saya habiskan bersama beliau (karena lebih dari 14 tahun saya merantau; menuntut ilmu). Sedih dan sesal itupun tak berhenti mondar mandir dalam pikiran. “Ayah maaf. Maaf”

Saat itu, seakan ingin punya pintu ajaib doraemon. Cuss bisa langsung di rumah. Tapi mustahil. Saya harus pulang dengan jarak tempuh 1168 mil. Butuh waktu sekitar 13 jam. Saya hanya bisa menangis. Menangis dan terus menangis.

Dengan segala pertimbangan dan untuk kebaikan ayah. Ba’da ashar almarhum segera dikebumikan tanpa menunggu kepulangan saya. Sedih sekali rasanya, tak bisa melihatnya yang terakhir kali. Dan TAK AKAN PERNAH melihatnya lagi. Tapi, agama menjelaskan bahwa fardhu kifayah itu harus di segerakan. Terlebih saat itu malam jumat. Malam terbebas dari azab kubur. Insyaallah semua terbaik untuk ayah. Saya ikhlas ya Allah. Saya ikhlas.

Usai shalat ashar di bandara, saya mencoba menenangkan diri. Kemudian, saya lanjutkan dengan shalat ghaib. Saat itu, pertahanan saya roboh lagi. Air mata mengalir deras. Tumpah ruah. Para jamaah di samping hanya melihat kebingungan. Ibarat kata luka masih basah, disiram air garam. Ini lebih dari itu! *mungkin kalian yang sudah kehilangan orang tua tahu rasanya seperti apa. Hati saya berucap “Ya Allah, saya ikhlas ya Allah. Saya sudah ikhlas. Tapi biarkan saya menangis. Tangisan saya. ini manusiawi kan Ya Rabb? Kuatkan kami ya Rabb.kuatkan!”

Pukul 17.30 WIB pesawat take off. Cuaca sedang buruk kala itu. Beberapa kali pramugari mengingatkan kondisi tersebut. Setelah sejam di udara, Pesawat mengalami turbulensi. Sampai-sampai pramugari yang sedang melihat penumpang tersungkur ke lantai dan kembali ke tempat duduk dengan merangkak. Pesawat terguncang keras. Penumpang panik. Sebagian mengucapkan zikir. “Ya Rabb, selamatkan kami”. Lagi, lagi. Tuhan sedramatis ini kah hari ini? Saya hanya ingin segera pulang. Selama menggunakan pesawat, situasi ini paling menegangkan dalam hidup saya. 5 menit kemudian, pesawat kembali normal meskipun sesekali terguncang awan.

Sesampai di Bandara Sultan Iskandar Muda. Saya dijemput abang sepupu dan langsung meluncur ke terminal bis. Butuh sekitar 5 jam Menggunakan bus dari Banda Aceh ke lhokseumawe. Dalam hati saya bertekad, “Pliss hati kuatlah. Jangan sampai nangis lagi. Sampai dirumah jangan nangis lagi. Cukup , ayah udah tenang disana”. Mengkonseling diri sendiri ceritanya. Berusaha untuk tidur, tapi ga bisa. Mencoba rileks, tetap juga ga bisa. Tapi setidaknya air tidak keluar lagi. Karena mata saya sudah perih sekali.

Dini hari saya sampai di kampung halaman. Dijemput abang di pemberhentian bis. Dalam perjalanan ke rumah. Abang bercakap-cakap santai, biar suasana ga sendu lah. “jam berapa turun pesawat?” “tadi dijemput bang popon ga?” “adek udah makan?”. saya hanya mengangguk. Padahal dari kemaren siang saya belum makan. Tiba-tiba tangis saya pecah lagi. Lagi..lagi saya gagal menahan air bah di mata saya. Ia meluncur deras. Abang menenangkan sambil mengelus kepala saya. Sebenarnya dia juga menangis, tapi ia berusaha menguatkan saya. “Insyaallah ini yang terbaik buat ayah. Ayah tu ga pergi. Ayah akan selalu hidup di hati kita.” sesekali ia juga mengusap air matanya. Mencoba kuat didepan adiknya.

Apa yang terjadi sesampai dirumah? Saya langsung menemui Mak. Menyalaminya dan menangis dalam pelukannya. Kali ini, lebih deras dibandingkan sebelumnya bahkan dibandingkan tadi siang. Melihat wanita yang paling saya hormati di dunia ini mennagis. Hati saya hancur. Saya menangis sejadi-jadinya. Tak ingin larut, saya memutuskan untuk shalat malam. Dalam doa saya semakin terisak. Ya Rabbi...bagaimana menahan ini?

Akhirnya saya memilih untuk bersih-bersih rumah. Merapikan segalanya, mencuci piring jam 4 pagi. Setidaknya saya ga menangis lagi. Hingga azan subuh, para saudara yang menginap kanget melihat dapur sudah rapi.

Sabtu ini, (tak lagi) bersama ayah. Begitu juga dengan sabtu sabtu setelahnya. Mungkin 06 Oktober 2016 lalu adalah hari paling menyedihkan buat kami sekeluarga. Hari dimana ayah pergi tanpa pertanda. Hari dimana ayah kembali kepada Sang Pencipta. Kini, sudah lebih sebulan ayah pergi, Meski begitu Ayah akan Selalu ada. Disini. Di Hati kami.

Hari ini, di Indonesia sedang merayakan hari ayah Nasional. Yah, Selamat hari Ayah ya. Semoga Allah mengampuni dosa ayah, menjauhkan dari siksaan kubur dan api neraka serta Allah hadiahkan Surga Terindah untukmu, Ayah.

We love you
Sampai bertemu di dalam SurgaNya Allah.
Amin




3 komentar:

Jasmi Bakri mengatakan...

Allahummafighlahu.. I know how you feel.. Sebenarnya gak mau komen. Takut membuat luka berdarah kembali. Tapi hanya mau menyemangati.. ingat lagi self-healing yang dibahas tadi.. hehehe..

Nurul Hikmah Alghazel mengatakan...

thanks for visiting my virtual home kak....like you, i wanna writing be my teraphy. be my energy. thanks for support.

Anonim mengatakan...

Does women’s hijab have to be black?
http://islamqa.info/en/39570

Correct Hijaab
‏http://islamqa.info/en/6991

Etiquette of talking to women
‏http://islamqa.info/en/113996

Can he contact his (female) cousin to greet her by phone?
‏http://islamqa.info/en/125089

Muslim women giving talks in gatherings where non-mahram men are present
‏http://islamqa.info/en/7576

Rulings on the enjoining what is good and forbidding what is evil
http://islamqa.info/en/cat/428

Rwuling on a woman putting her picture on Facebook
http://islamqa.info/en/165186

Ruling on owning, renting and renting out beauty salons for women and the ruling on working in them
https://islamqa.info/en/120891

Correct view on the ruling on covering the face
https://islamqa.info/en/21536