Tahun
2012 silam, saat masih berstatus sebagai mahasiswa di salah satu Univeristas
kebanggaan Ureung Aceh, IAIN
Ar-Raniry (sekarang UIN Ar-Raniry) saya punya kenangan tersendiri bersama orang
dengan gangguan jiwa (ODGJ). Sebagai mahasiswa Bimbingan dan Konseling Islam
(BKI) Fakultas Dakwah, kami mahasiswa tingkat akhir diwajibkan mengambil mata
kuliah praktikum konseling, sebagai bentuk nyata aplikasi keilmuan konseling
dan penyehatan mental di ranah sosial.
Pihak
jurusan menjalin kerjasama yang baik dengan berbagai pihak yang mampu menampung
aplikasi keilmuan konseling dan penyehatan mental. Salah satunya adalah kerja
sama dengan pihak Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Aceh. Rumah Sakit Jiwa ini merupakan
satu-satunya Rumah Sakit Jiwa di Propinsi Aceh. Telah menampung kurang lebih
700 pasien. Saat itu, praktek mahasiswa dilakukan di bagian Rehabilitasi; tempat
dimana sejumlah pasien telah mampu berkomunikasi dengan baik, emosi stabil dan dinyatakan
hampir sembuh. (Untuk menjaga kehormatan,
mahasiswa tidak diperbolehkan mengekspos biodata maupun foto para pasien. Tapi
disini saya ingin berbagi cerita “sebulan bersama ODGJ”. Melihatnya dari
perspektif berbeda dan (mungkin) bisa menjadi suatu pembelajaran.
Awalnya,
timbul ketakutan dan rasa khawatir berada disana. Terbayang: “mereka pasti agresif, mereka pasti “ngeri”,
mereka pasti inilah itulah bla bla bla bla dan lain sebagainya (pikiran kebanyakan
orang awan). Nyatanya, mereka itu manis, terkadang lucu (bikin kita
ketawa-ketawa sendiri) dan juga bersih. Seiring berjalannya waktu, rasa nyaman
itu muncul dan rasa empati itu hadir. Rasa ingin mengenggam tangan mereka untuk
kembali menjalani hidup sebagaimana mestinya.
Pernah
ketika mengunjungi beberapa pasien. “Kak sini bentar, aku tuh juara Indonesian
Idol loh. Dengerin aku nyanyi ya!”. Daannn.... suaranya itu asli beneran
bagus, meski lirik yang dinyanyikan tak sesuai. Ada juga yang obsesi jadi BCL
(Bunga Citra Lestari). Ada juga yang suka ceramah. Waahh..pokoknya beragam deh.
Walau mereka sibuk dengan dunianya sendiri, tapi kadang itu yang bikin mereka
lucu dan terlihat manis.
Pernah
juga didekati oleh pasien dan dengan polosnya bilang: Bi peng syibee? (minta duit dong seribu?). Awalnya kaget. Setelah
diberitahu staf kalo itu pasien dengan katagori telah sembuh. Akhir saya
terbiasa. Mereka dibiarkan bersosialisasi dengan pengunjung di sekitar rumah saki,
sebagai latihan penyesuaian diri untuk kembali ke kampung halaman. Sebagian orang
akan menghindar karena ketakutan, ada juga yang memberikan uang. Sebenarnya mereka
juga senang jika diberikan sesuatu selain uang; apakah itu makanan sehat atau
permen. Karena uang yang diberikan tak jarang mereka gunakan untuk beli rokok.
Ada
sebagian dari mereka yang dinyatakan sembuh, namun saat dikembalikan kepada
keluarga. Ada yang menerima dengan baik, ada juga yang masih menganggapnya “orang
gila” bahkan tak sedikit pula pihak keluarga yang tak diketahui keberadaannya.
Menjadi polemik tersendiri bagi mereka yang sebenarnya sudah boleh “keluar”,
tapi lingkungan sosial belum siap menerima.
Seorang
pasien, (sebut saja namanya Akbar). Akbar telah dinyatakan sembuh; mampu
berkomunikasi dengan baik, emosi stabil, mengurus diri dengan baik dan punya
harapan untuk menjalani kehidupan bersama keluarga. Ia juga memperlihatkan rasa
empati terhadap sesama pasien; membantu mereka mengikuti kegiatan dan mengajari
teman-temannya kala sebagian dari mereka tak mengerti. Sebelum dipulangkan,
Akbar malah meminta izin sama kami dan minta didoakan. Kami merasa takjub. Semoga
ia mampu memasuki kehidupan baru. Menjadi manusia baru dengan sejuta harapan,
semangat dan optimis.
Namun,
apa yang terjadi seminggu setelahnya? Akbar dikembalikan ke RSJ dalam keadaan
sangat berbeda. Emosinya tidak stabil, kadang berteriak, memaki dan bahkan
menyakiti diri sendiri. Akhirnya perawatan intensif pun harus dijalaninya.
Apa
yang membuat Akbar “kambuh” kembali? Apa kita harus menyalahkan Akbar dengan
kondisinya? Padahal, Ia sudah berusaha berjuang untuk sembuh. Berusaha menekan
keagresifan. Berusaha menghilangkan waham-wahan negatif. Tapi, seketika
pandangan “orang gila” yang dilekatkan padanya menghancurkan pertahanan yang
coba dibangun bertahun-tahun ini. Masyarakat kita yang kurang paham atau
pertahanan diri (self mecanism) Akbar
yang kurang kokoh?. Saya tak ingin menjudge.
Tapi yang pasti Akbar dan teman-teman (yang senasib) butuh dukungan orang
terdekat dan dukungan sosial. Ia harus dibantu untuk bisa menyesuaikan diri
dengan baik. Tangannya harus diraih agar kembali menjadi sosok yang manis, membanggakan
dan penuh cinta.
Tak
hanya Akbar, masih banyak teman senasib yang merasakan hal yang sama. Bella
misalnya (nama samaran). Ia meminta kami untuk menghubungi keluarganya. Ia rindu.
Ingin bertemu anak-anaknya yang masih kecil. Dari sesi konseling yang dijalani.
Dengan linangan air mata Ia butuh orang-orang yang menginginkannya kembali. Tapi
sejak dibawa ke “tempat ini”. Tak sekalipun ia dibesuk.
Mereka
yang di rumah sakit jiwa adalah mereka yang harus diobati, bukan mereka yang “dibuang”
atau disembunyikan dari dunia. Sebagian dari mereka memiliki kemungkinan untuk
sembuh. Tak hanya obat, mereka juga butuh perhatian dan dukungan keluarga. Perhatian
keluarga sangat membantu penyembuhan pasien disamping upaya medis. Tanpa itu,
obat yang mereka minum dan perawatan tempo hari terasa tak berguna.
Keluarga
menjadi tumpuan rasa dan harapan. Kemanapun pergi rumah adalah tempat kembali.
Tapi, apa jadinya ketika keluarga tak sehangat dulu? Rumah tak senyaman dalam
bayangan. Saya rasa, tak hanya mereka (ODGJ), bahkan orang normal saja bisa
sedih dan terpuruk jika dipandang sebelah mata. Kenyataannya sering kita
temukan dalam kehidupan sehari-hari. Masih ada aja pandangan atau tatapan sinis terhadap mereka yang baru sembuh. Menganggap
mereka bahaya. Merasa mereka “aneh” dan berbeda. Jangan-jangan anggapan buruk
dan tatapan sinis kita yang membuat mereka menjadi “gila”. Nauzubillahi min zalik
Sudah
seharusnya lingkungan sosial menghilangkan “cap negatif” itu. Penerimaan sosial
yang baik, akan memudahkan mereka menyesuaikan diri kembali. Hidup dengan
semestinya dan bersosial dengan baik. Tak sepatutnya menjudge atau mencibir mereka yang sakit dan bahkan mengolok-olok
keluarganya. Mereka sudah sangat berat menghadapi cobaan hidup, jangan pula ditambahi
dengan omongan dan ejekan dari sekitar. Sekiranya tak bisa membantu, jangan
tambah beban mereka dengan lisan dan sikap kita.
Semoga,
masyarakat kita semakin cerdas dan bijak dalam tutur dan sikap. Terkhusus dalam
menghadapi ODGJ. Karena pada hakikatnya, mereka punya hak yang sama. Mereka berhak
sembuh. Berhak bahagia. Oleh karenanya, mereka membutuhkan uluran tangan kita. Butuh
orang yang tidak meninggalkannya dalam “cobaan” ini. Butuh mereka yang berkata:
“Ayo sini...kamu pasti bisa. Mari sama-sama
melewati hari”. Karena mereka tak hanya butuh obat, tapi butuh tangan yang
bisa membawanya kembali sehat. Wallahu a’lam
Wassalam
Roel Alghazel
Wassalam
Roel Alghazel
"Tulisan Ini diikutkan dalam Giveaway Aku dan Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yang diselenggarakan oleh Liza Fathia dan Si Tunis
3 komentar:
Memang benar, orang dengan gangguan kejiwaan seharusnya harus lebih dekat dengan keluarganya
Iya...Tak hanya obat mereka juga butuh kasih sayang. Terima kasih sudah berkunjung
Iya...Tak hanya obat mereka juga butuh kasih sayang. Terima kasih sudah berkunjung
Posting Komentar