"Tulisan ini saya ikutsertakan dalam lomba "Menulis Santri" tingkat Nasional yang diadakan oleh salah satu Majalah Islami ternama di Indonesia. Ini Tulisan pertama yang saya kirim ke redaksi dan Alhamdulillah Juara Favorit."
Tahun 2002 adalah tahun aku menamatkan sekolah dasar (SD) dan
memilih melanjutkan studi ke sebuah pondok pesantren ternama di kota
kelahiranku. Pesantren Ulumuddin namanya, sebuah pesantren terpadu yang
terletak di sudut Kota, tepatnya di perbukitan Uteunkot Cunda Kota Lhokseumawe,
Provinsi Aceh. Pesantren ini sudah berdiri sejak tahun 1990 dan telah berhasil
mencetak lulusan yang sebagian besar tersebar melanjutkan studi di nusantara
dan Jazirah
Arab,
seperti Mesir,
Mekkah,
Madinah,
dan Syiria.
Pesantren yang mengadopsi gaya Pesantren Gontor ini juga memadukan antara pembelajaran
sekolah dan kitab kuning serta menerapkan bahasa arab dan bahasa inggris
sebagai bahasa harian. Untuk masuk ke pesantren favorit ini tidaklah mudah
kawan, selain sebagai pesantren favorit se-antero aceh utara dan Lhokseumawe
yang banyak diincar oleh siswa berprestasi, ujian masuknya juga menguji
kemampuan berbahasa arab dan bahasa inggris. Sungguh ujian yang sangat sulit
mengingat waktu itu bahasa arab belum menjadi pelajaran pokok di SD.
“Mak, adek masuk ke pesantren ya?” pintaku pada Mak saat itu. Aku
memanggil ibuku dengan sebutan Mak. “Ga boleh, adek kan baru tamat SD.
Masih umur 12 tahun, masih kecil untuk usia merantau, Mak ga kasih” Mak langsung menolak permintaanku. Memang yang Mak takutkan bukan hanya
usiaku yang masih muda, tapi karena fisikku yang kerap sekali sakit, bisa
dibilang aku adalah anak berpenyakitan dan tidak bisa jauh dari obat.
Namun, keinginanku masuk pesantren sudah bulat. Malah aku
bersikeras kepada orang tua tidak akan melanjutkan sekolah jika tidak di
pesantren. Aku terus berusaha sekuat tenaga menyakinkan ayah. Dan alhasil, ayah
mengalah dan memberi kesempatan bagiku untuk mencobanya. Ayah juga menyakinkan Mak untuk membiarkan putri keduanya melanjutkan studi sesuai dengan
kemauannya.
Setelah mendapatkan restu, akupun mempersiapkan diri mengikuti
ujian tulisan dan lisan. Masih segar diingatanku, pertanyaan-pertanyaan saat
wawancara, “Kenapa masuk pesantren? Di Pesantren makan ikan asin, sayur rebus
dan tempe. Apa kamu sanggup?”tanya penguji mengetesku. “Sanggup!” jawabku tegas
tanpa ragu.
“Di pesantren ga enak, banyak aturan dan keras, kalau melanggar
harus keliling lapangan, sanggup?” tanya beliau lagi tak mau kalah. “Insyaallah
sanggup!” jawabku tetap dengan rasa percaya diri. Ku lihat ustazah yang
mengujiku tersenyum melihat gayaku yang kepedean. Ustazah Us namanya, beliau tanya lagi “Trus disini jauh dari orang
tua, ga boleh pulang selain pada waktu liburan dan semua harus diurus sendiri?
Makan harus antri, mandi, dan ke toilet juga harus antri...kadang ga mandi
kalau ga ada air. Gimana masih sanggup ga?” haaahhh tidak ada air???
Gumamku dalam hati. Tapi dengan segenap keyakinan ku menjawab “Insyaallah saya
sanggup”. Wawancara berakhir.
Seminggu berlalu, aku tak sabar menunggu hingga siang sampai ayah
pulang kerja dan membawakan koran. Dengan seksama aku melihat nomor ujian, dan
hasilnya aku lulus!!! Aku melompat kegirangan dan kulihat senyum bahagia dari
ayah, kecuali dari Mak yang merasa sedih karena akan berjauhan denganku. Hari
itu, tanggal 22 Juli 2002 awal mula aku menginjakkan kaki di pesantren dan
menjadi seorang santri.
###
Santri baru, ga boleh nangis!
Berada disana merupakan kebahagiaan tersediri bagiku, memiliki
banyak teman dan suasana baru. Suasana serba baru jelas terlihat di rayon
santri kelas 1. Kasur, seprei, lemari, semuanya baru. Ada satu hal lagi yang
unik disana. Kalau sudah tiba waktu senja hingga malam, akan terdengar suara tangisan di setiap kamar. Suara itu bagaikan
koor kelompok paduan suara yang saling bersahutan. Kalau istilah senior,
saatnya santri baru nangis jamaah...hehehe dan itu selalu terdengar selama seminggu setiap penerimaan
santri baru setiap tahunnya..(ada-ada saja...hehe)
Berbeda denganku, sedikitpun aku tak menagis. Malah aku menengur Mak yang memelukku erat sembari menangis kala hendak pulang. “Mak, jangan
nagis, malu di lihat sama orang”. Tak lupa Mak mengingatkan untuk menjaga
kesehatan dan jangan lupa minum obat. Pernah suatu ketika, senior menghampiriku
yang sedang bersantai di halaman. Pesantren ku terletak di perbukitan penuh dengan
pepohonan dan suasana yang asri. Sungguh suasana yang enak untuk sejenak
bersantai dan memanjakan diri dengan pemandangan alam serta ditemani angin sepoi-sepoi.
“Kenapa ukhti? Kangen rumah ya?” sembari menghampiriku. “Oh ga ukhti, ana lagi
santai aja. Ana heran sama kawan ana, mereka asik nagis aja teringat kerumah”
ledekku menyepelekan. “Emang anti ga nangis? Ga teringat sama mamak?” tanyanya
lagi. “Teringat sih, tapi ga sampe nangis juga. Kita disini kan bukan di buang
tapi mau belajar” jawabku sok dewasa. “Oh...bagus bagus kalau gitu, udah jadi
santri ga boleh nangis lagi, harus giat belajar dan bergaul biar ga teringat
kerumah, nanti betah sendiri kok, Disini enak loh banyak teman” katanya lembut.
Seminggu pertama, Mak dan Ayah selalu menyempatkan diri setiap hari
menjengukku. Padahal jarak rumahku dengan pesantren lumayan jauh, tapi orang tuaku begitu khawatir. “Mak jangan datang tiap hari ya! Adek malu sama teman-teman”
sambil mengantarkannya ke pintu gerbang pesantren. “Santri lain semua minta
dijenguk, adek kok ga mau??? Mak kan cuma mau lihat keadaan Adek
disini” Sahut Mak pelan. “Adek di sini baik-baik aja, banyak kawan dan ga
kurang 1 apa pun. Kalau Mak dan Ayah atang selalu, kapan adek mandiri???datangnya sebulan sekali aja ya” tak mau lagi mendengar penjelesan Mak
Namun, tetap saja orang tuaku menyempatkan diri datang seminggu sekali.
Tetapi...apa yang terjadi setelah 7 hari???
Tepat seminggu aku menjadi santri, baru aku merasakan kerinduan
yang paling dalam. Aku kangen Mak, kangen Ayah, kagen rumah dan pengen pulang. Dan sore itu
akupun menangis tersedu-sedu di sudut musala. Terbersit dalam hati “ begini ya
kalau lagi kangen orang tua?” hiks (Apa juga sok kuat kemaren...cemen juga
rupanya..hehe)
###
Hari-hari di Pesantren.
Hari-hari kami lewati bersama. Bahagia, lucu, penuh canda tawa,
kekonyolan, dan air mata. Aku mudah beradaptasi dan bergaul, karena itu
seminggu disana aku sudah punya banyak teman dan mulai dekat dengan kakak
kelas. Banyak keuntungan dekat dengan senior, aku diajarkan bahasa asing, di
tuntun mengikuti peraturan yang ada dan mudah di kenal. Teman sekamar ku pernah
bilang, “Anti enak ya dekat dengan kakak kelas, semua kenal sama anti”. Aku
hanya membalasnya dengan senyuman. “Ntar dech ana kenalin dengan Ukhti yang
kelas Aliyah ya!”
Ada kisah lucu ketika kami masih kelas 1. Enam bulan pertama, santri
kelas 1 tidak diwajibkan berbahasa arab tetapi cukup berbahasa Indonesia. Namun,
masih ada santri yang sering kali keceplos ngomong bahasa daerah. Termasuk juga
aku...maklum wong ndeso. “Jangan ambil silop[1]
ana” pernah teman ku berteriak di depan kamar. Kontan semua orang melihatnya,
karena ketahuan berbahasa daerah. Langsung saja dia kabur dan kami pun semua tertawa,
karena kami tau dia tidak sengaja keceplos. Atau pernah seorang teman sekamar
mengigau tengah malam sambil beratraksi “ coblos moncong putih!” sambil
mengepalkan tangannya keatas layaknya caleg lagi kampanye. Spontan kami yang
masih terjaga tertawa cekikikan sampai guling2 karena tidak boleh bersuara di
tengah malam. Ntah kenapa dia bisa mengigau partai politik itu, mungkin karna
masa itu lagi masa pemilu. Pernah juga suatu malam, teman sekamar ku sakit
parah dan harus ditemani oleh (sebut saja namanya Ani). Setelah pulang mengaji,
kami pun kembali ke kamar dan mendapati pintu terkunci. Kami mengedor pintu dengan
sekuat tenaga, juga tidak ada sahutan sama sekali. Kami mulai khawatir, setelah
15 menit berlalu dan hendak melapor ke ustazah. Pintu terbuka perlahan,
ternyata yang membuka adalah teman yang sedang sakit dan kami langsung masuk
dan mendapati si Ani tidur terlelap. Tak sedikit dia terjaga. Ckckckck
ani...ani...!
Kalau sedang mati lampu, adalah waktu yang pas untuk balas dendam
dengan para senior yang jahil. Suatu malam temanku pernah mencubit keras salah
satu kakak kelas karena pernah dijahili. Dalam gelap ia menyelinap dan
mencubitnya dengan keras “adoowww...who pinch me[2]???”
teriaknya kesakitan. Langsung saja dia kabur jauh, aku yakin sampai saat ini
senior itu tidak tau yang mencubitnya malam na’as itu. Kami hanya tertawa kala
mendengarkan ceritanya.
Pernah juga kami di kejar dan sembunyi di kolong tempat tidur saat
jam pelajaran berlangsung sedangkan kami pulang ke asrama untuk tidur, tapi ketahuan
juga akhirnya. Setelah kejadian itu, ga pernah-pernah lagi keluar kelas
saat jam pelajaran. Ada juga kejadian, aku sedang menuruni anak tangga dan
mendengar suara azan, langsung saja terbersit dalam hati “suara siapa itu,
jelek sekali!” tepat setelah aku menguman dalam hati aku langsung tersungkur
jatuh dari tangga. Itu yang ku dapatkan setelah menjelekkan orang, ga lagi-lagi
dech. Ya Allah ampuni dosa hamba. (jangan meniru kejadian diatas... ntar kualat).
Kejadian paling menyedihkan adalah ketika tragedi Tsunami. Banyak
santri yang kehilangan orang tua, sanak sodara dan harta benda. Ada 1 orang
teman seangkatan kami, yang sudah seminggu tidak ada kamar dari ibundanya.
Rupanya sore itu dia mendapatkan kabar bahwa ibunda ditemukan 4 KM dari
rumahnya dalam keadaan tidak bernyawa.Spontan dia pingsan dan kami semua ikut
berduka. Kisah suka dan duka itu membuat kami sebagai santri menjadi sosok yang
tegar, sabar, mandiri dan saling berbagi.
Tak lengkap rasanya, jika tak menorehkan kisah mistis di pesantren.
Semua orang tau di pesantren adalah tempatnya penampakan hantu atau pocong cs.
Pernah suatu waktu, ketika aku dan beberapa teman melakukan shalat tahajud di
musala. Awalnya biasa saja, namun ketika kami sedang khusyuk shalat lampu
mushala tiba-tiba mati, namun itu tidak menggangu kekhusyukan kami. Setelah
shalat maka kami hanyut dalam doa, ketika itu tadah tanganku serasa berat
berapa ton. Semakin aku berdoa semakin berat beban itu. Rupanya teman ku juga
merasakan hal yang sama, namun tak disampaikannya begitu juga aku. Setelah
semuanya selesai, kami berlagak santai keluar dari mushala seperti tak terjadi
apa namun saling menoleh. Setelah meraba-raba sandal dan dengan tanpa aba-aba
kami serentak lari terbirit-birit ke kamar. Masih dengan nafas tersenggal2,
kami saling bercerita. Rupanya kami memang sedang di ganggu dan setelah itu
lampu pun hidup kembali. Ku rasa makhluk halus itu tertawa terbahak-bahak
melihat kami berlari terbirit-birit. Memang setan kurang kerjaan..dasar
setan!!! (ya emang setan J). Pernah juga teman sekamarku melihat penampakan di depan kelas
dan asrama. Seperti pocong atau kuntilanak, katanya ia melihat makluk berbaju
putih dan rambut panjang...hihi ngeri!
###
Persahabatan.
Sepotong episode mengenai sahabat juga tak pernah terlupakan.
Betapa tidak, bersama merekalah aku melewati warna warni kehidupan di pesantren
selama 6 tahun lamanya. Sahabat yang ada dalam suka dan duka. Ketika sakit,
sahabatlah yang mengurusi dan ketika bahagia dan sedih dengan sahabatlah kita
berbagi. Bagiku sahabat adalah bagian dari jiwa ini. Friendship is one soul
in two body.
Aku memiliki banyak teman, tetapi aku juga memiliki sahabat karib.
Kami sering menghabiskan waktu bersama, belajar, bercanda, bermain dan saling
berbagi. Pun orang tua kami sudah dekat satu sama lain, layaknya saudara. Kami
berjumlah 5 orang dan pun sepakat memberi nama Tu_kok, bukan nama geng
tapi hanya nama untuk seru-seruan, ga punya arti khusus tapi karena lucu dan
unik saja..hehe
ketawa bersama
Suka duka kami selalu bersama. Ketika sakit teman sekamar lah yang
menjaga menghibur dan mengusursi semuanya. Biasa aku yang sering sakit,
merekalah yang selalu mengingatkan ku minum obat dan mengurusiku ketika sakit.
Pernah aku sakit parah hampir 3 hari tidak bisa bergerak tanpa daya, dan
dipapah dari lantai 3 kekamar mandi yang terletak di belakang asrama. Kala itu
malam gelap dan mati lampu, dalam gelap mereka menggendongku turun dari lantai
3, tak pernah ku lupakan kejadian itu.
Saling memberikan kejutan saat ulang tahun, dan menyemangati ketika
masalah melanda.
###
Ujian terberat...
2008, aku sudah sampai di tingkat akhir. Bulan April tepatnya kami
akan mengikuti ujian nasional (UN). Bagi kami UN begitu mengerikan. Selain
persiapan UN, kami juga mempersiapkan diri mengikuti ujian akhir ma’had, secara
lisan dan tulisan. Inilah ujian yang menentukan kami layak mendapatkan ijazah ma’had
atau tidak. Sebenarnya lebih mengerikan ujian ma’had, karena jika kami
gagal, maka sia-sia saja belajar 6 tahun disana namun tak mampu lulus dengan
baik dan gagal mendapatkan ijazah. Semacam ada rasa malu tersendiri.
Saya beserta teman lainnya begitu serius mempersiapkan diri,
mengikuti les, belajar bersama dan mencoba menjawab soal-soal yang sudah ada.
Kalian bisa membayangkan betapa padatnya kegiatan kami 6 bulan terakhir. Kami
belajar siang malam, kemana saja membawa buku dan kitab dan hanya memiliki
waktu istirahat sekitar 3 jam. Kala malam tiba, sebagian memilih belajar di
Mushalla, sebagian lagi memilih tempat yang sunyi dan mengandalkan lampu-lampu
kelas yang masih menyala, dan kebanyakan memilih belajar di kamar karena ketika
sudah lelah bisa langsung tidur. Biasanya tipe yang terakhir ini punya waktu
belajar lebih singkat karena keburu tertidur ketika melihat kasur...hehe
Begitu setiap hari yang kami lakukan, selain belajar keras doa juga
menjadi senjata andalan bagi santri. Aku selalu berdoa “Ya Rabb, berikan
yang terbaik bagi hamba. Jika lulus yang terbaik, maka luluskan. Namun jika
tidak maka kuatkan hati ini dan jangan sampai hamba menangis. Berikan yg
terbaik ya Rabb. Amin”, itu adalah sepenggal doa yang selalu aku ucapkan. Sebagai
senior kami di doakan khusus oleh junior dan dukungan yang diberikan begitu
besar. Sehingga kelelahan yang kami hadapi tidak terlalu terasa karena disetiap
tempat kami selalu disemangati “Ukhti, ma’annajah!!!Ad’u ilaiki ukhti”[3] atau “ Good Luck my sister for
examination”[4]
atau yang paling lucu “Good Luck sister yes (semoga sukses kak ya)
hehehe.
Hari yang dinanti pun tiba, hari pengumuman UN tanggal 14 Juni
2008. Hari itu kami semua sungguh dilanda ke khawatiran yang sangat amat dalam.
Sebelum pengumuman di umumkan, tersiar kabar bahwa tahun ini santri tidak lulus
100%, ada 7 orang yang gagal. Sungguh membuat kami semua tegang. Tiba saatnya
kepala sekolah membawa hasil pengumuman dengan memanggil yang lulus satu
persatu ke depan. Satu, dua sampai ke nomor kesekian, namanya juga tak ada, itu
artinya aku TIDAK LULUS. Seakan ada yang menonjok hati ini, tapi aku merasa
Allah mengabulkan doaku, sedikitpun aku tidak menangis dan aku menerima dengan
ikhlas. Dari kami berlima anak-anak Tu_kok, cuma aku yang gagal. Spontan
mereka memelukku sembari menangis. Sekali lagi, Allah mengabulkan doaku sedikitpun
aku tidak menangis.
wisuda santri 2008
Pada saat bersamaan aku melihat wajah ayah dan Ummi yang selama ini
terlihat lembut dan menyenangkan dengan wajah yang senantiasa menjanjikan
semangat dan perasaan damai. Sore itu tidak bisa disembunyikan gurat harapan
yang hilang. Mengalah pada takdir bahwa putrinya telah gagal. Pemandangan
itu yang merobek-robek pertahananku. Oh Tuhan, jangan biarkan air mata ini
mengalir, jangan!!! Aku merasa langitku saat itu merubah menjadi kelam dan
gelap tanpa cahaya.
Setelah magrib baru aku menangis sejadi-jadinya dan 4 hari
mengurung diri di kamar. Sebenarnya orang tua ku selalu menyemangati dan ini
bukanlah akhir dari segalanya. Tapi, perasaan ini semakin sesak, apalagi
mengingat bahwa semua orang tidak percaya bahwa aku gagal. Selama 6 tahun di
pesantren, aku termasuk santri berprestasi. Semua jajaran pesantren seakan
tidak percaya kenapa aku gagal dalam UN. Tapi sudah begitu kejadiannya.
Kemudian, aku tersadar bahwa aku telah menzdalimi diri sendiri dan orang2 yang
menyayangiku, terutama Ummi dan Ayah. Aku hanya gagal di UN, namun lulus di
ujian akhir ma’had dan mendapatkan ijazah. Ini bukan the end of my
live, i must be survive, kalau menyerah maka habislah sudah. Maka, aku
memutuskan untuk bangkit dan sebulan kemudian memutuskan Ikut ujian paket C dan mendaftar di perguruan tinggi Islam kebanggaan Rakyat Aceh,
IAIN Ar-Raniry Banda Aceh. Lulus di Bimbingan Konseling Islam, Fakultas Dakwah. Mulai saat itu aku
berjanji untuk menjadi yang terbaik dan membanggakan orang tua dan menghancurkan
keputusasaan itu berkeping-keping tak bersisa.
Sekarang...
Teringat 5 tahun yang lalu saat rasa putus asa yang mengungkung
siang malam akibatnya membuat aku malu dengan diri sendiri dan nikmat yang
telah Allah berikan. Aku sangat percaya bahwa Allah tidak akan menguji hambaNya
di luar batas kesanggupannya. Harapan itu akan selalu ada dan aku harus bangkit
untuk diriku dan orang yang mencintaiku dengan sepenuh hati.
Akhirnya, usahaku belajar keras selama 4 tahun di perguruan tinggi tidak
sia-sia, aku berhasil lulus dengan predikat Cumlaude dan mendapat penghargaan
dari Rektor. Ceritanya bisa baca.disini Aku juga pernah menjadi asisten dosen dan mengajar privat bahasa
Arab, itu karena aku pernah mengeyam pendidikan di pondok pesantren dan jasa
pasa Ustad dan Ustazah. Sehingga ilmu dasar yang ku dapati disana bisa
membawaku menjadi pribadi yang anggun dan kompetitif. Saat ini, aku sudah menjadi
staff di Dinas Sosial Provinsi Aceh dan menangani masalah sosial dan anak
jalanan. Masih jelas terekam dalam memeri pesan pertama dari ustazah kala
pertama kali belajar mahfudhat: “Man
Jadda Wa Jada (Barang siapa yang bersungguh-sungguh, maka akan mendapat)”.
Hal ini yang selama ini aku jadikan prinsip untuk terus berkarya untuk
keluarga, agama dan bangsa.
Dulu, aku hanya tau alasan utama memilih masuk pesantren karna
ingin sekali menginjakkan kaki di Mesir, hanya itu. Namun lambat laun setelah menimba
banyak ilmu disana,aku mendapatkan apa sebenarnya yang aku cari. Di sini aku
belajar ilmu pengetahuan, agama dan kematangan spiritual, bukan hanya ingin ke
Mesir tapi juga kemadirian, kesetiakawanan dan pengabdian untuk agama. Di
pesantren lah tempat aku mengenal perjuangan hidup, persahabatan dan Tuhan.
bersama kedua orang tua dan adinda di depan Pesantren
Jadi, jangan pernah menyerah dan berputus asa. Karena sebenarnya
itu masalah waktu, Tuhan tau Tapi Tuhan Menunggu. Nah, sekarang kemana pun alu
pergi, tetap aku terapkan disiplin pesantren dan menyarankan generasi di
bawahku untuk melanjutkan sekolah di pesantren. Maka, selalu aku katakan kepada
mereka “Ga keren, kalau belum masuk pesantren”
Hari ini, aku serasa langitku kembali cerah dan Allah telah menghadiahkanku
pelangi yang indah. (Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?(QS.
Ar-Rahman: 21).
Terimakasih Ya Allah ^__^
Banda Aceh, 10.15 WIB
Salam Santri!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar