Rabu, 05 Oktober 2016.
Hari itu, adik saya yang paling bungsu wisuda. Hanya
Mak dan abang yang menghadiri wisudanya. Sebab kondisi ayahanda kami lagi
kurang sehat. Sudah seminggu ayah demam, tak nafsu makan dan tampak lemas.
Meski ayah memaksa ingin ikut, tapi kondisi tak memungkinkan untuk memboyongnya
ke Banda Aceh (butuh 6 jam perjalanan dari rumah). Lebih baik dirumah agar
sakitnya tidak bertambah parah, begitu pikir Mak. Kala itu, Mak ada pada
kondisi sangat dilematis. Tetap dirumah menemani ayah atau menghadiri wisuda
sang buah hati. Meski waktu itu hati Mak condong untuk tidak berangkat. Namun,
ayah mengatakan “pergi saja! Kasian dek
Raudhah wisuda tanpa orang tua”. Ayah di rumah ditemani kakak dan
adik-adiknya. Jadi saat itu dirumah itu lagi rame. Makanya Mak memutuskan
berangkat meski hatinya ga karuan.
Meski hari bahagia, Mak hanya menangis sepanjang hari.
Mengingat diantara kami bertiga, ini wisuda paling menyedihkan, tanpa kehadiran
ayah tanpa makan-makan, tanpa keluarga besar. Saya sendiri sedang di Bandung
bergelut dengan tugas akhir. Usai ceremony Mak langsung bergegas pulang. Karena
hatinya ingat Ayah. Si bungsu rencana akan pulang esok hari setelah
menyelesaikan sidik jari dan pengambilan ijazah. Agar bisa konsen merawat ayah
dirumah, begitu rencananya.